Candi Borobudur ternyata tidak hanya menyimpan kekayaan budaya dan legenda. Candi yang dibangun pada abad ke-7 ini dirancang berdasarkan ilmu astronomi oleh nenek moyang Indonesia pada masa itu. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan dilaksanakannya International Olympiad on Astronomy and Astrophysics (IOAA) 2015 di Candi Borobudur oleh kemendikbud di Magelang, Jawa Tengah.
Di balik kemegahan Candi Borobudur, para ilmuwan astronomi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menemukan bahwa stupa utama Borobudur adalah alat penanda waktu (gnomon) yang memanfaatkan bayangan sinar matahari. Ini merupakan salah satu bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengerti dan menggunakan ilmu astronomi dalam kehidupan sehari-hari.
Dosen Astronomi dari Institut Teknologi Bandung, Endang Soegiartini mengatakan, pembangunan Candi Borobudur menggunakan penghitungan arah angin, hingga jumlah stupa.
"Kalau kita berdiri di atas puncak stupa lalu melihat ke arah pintu timur pada 21 Maret dan 21 September, kita melihat matahari muncul melewati pintu itu. Di luar (tanggal) itu matahari tergeser sedikit ke arah utara atau selatan. Sampai akhirnya bergeser 23,5 derajat ke utara atau selatan. Itu kalau dari khatulistiwa. Kemudian posisi Borobudur itu kan 7 derajat Lintang Selatan. Itu dikoreksi dengan letak stupa-stupa itu," ujarnya di sela-sela kegiatan IOAA 2015 di Magelang (28/07/2015).
Bahkan jumlah stupa di Candi Borobudur pun melambangkan ilmu astronomi. Bentuk Candi Borobudur seperti kotak yang memiliki empat sisi. "Bentuknya mandala," kata Endang. Ia mengatakan jumlah stupa Candi Borobudur sebanyak 4x365, ditambah satu stupa paling atas (di puncak). Jumlah tersebut mewakili jumlah hari dalam satu tahun (365 hari), dan satu hari penambahan di setiap empat tahun sekali (tahun kabisat).
"Itu (Candi Borobudur) adalah kalender raksasa," kata Endang yang juga anggota Tim Akademis dalam IOAA 2015 itu.
Selain itu, ia menuturkan, dari stupa paling atas bisa dilihat bintang Polaris. Bintang polaris adalah bintang yang tidak pernah tenggelam sehingga digunakan sebagai petunjuk arah. Namun karena kondisi langit dan udara sekarang sudah tidak jernih, bintang Polaris pun sudah sulit dilihat dari puncak Candi Borobudur.
Fakta-fakta hasil penelitian Candi Borobudur dari ilmu astronomi itu menjadikan IOAA 2015 sebagai ajang pemberian pengalaman belajar kepada calon intelektual dunia tentang puncak-puncak pencapaian kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang ditopang oleh kekuatan ilmu pengetahuan yang canggih dan kehalusan spiritual yang dalam yang tercermin dari kemegahan Candi Borobudur.
Di balik kemegahan Candi Borobudur, para ilmuwan astronomi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menemukan bahwa stupa utama Borobudur adalah alat penanda waktu (gnomon) yang memanfaatkan bayangan sinar matahari. Ini merupakan salah satu bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengerti dan menggunakan ilmu astronomi dalam kehidupan sehari-hari.
Dosen Astronomi dari Institut Teknologi Bandung, Endang Soegiartini mengatakan, pembangunan Candi Borobudur menggunakan penghitungan arah angin, hingga jumlah stupa.
"Kalau kita berdiri di atas puncak stupa lalu melihat ke arah pintu timur pada 21 Maret dan 21 September, kita melihat matahari muncul melewati pintu itu. Di luar (tanggal) itu matahari tergeser sedikit ke arah utara atau selatan. Sampai akhirnya bergeser 23,5 derajat ke utara atau selatan. Itu kalau dari khatulistiwa. Kemudian posisi Borobudur itu kan 7 derajat Lintang Selatan. Itu dikoreksi dengan letak stupa-stupa itu," ujarnya di sela-sela kegiatan IOAA 2015 di Magelang (28/07/2015).
Bahkan jumlah stupa di Candi Borobudur pun melambangkan ilmu astronomi. Bentuk Candi Borobudur seperti kotak yang memiliki empat sisi. "Bentuknya mandala," kata Endang. Ia mengatakan jumlah stupa Candi Borobudur sebanyak 4x365, ditambah satu stupa paling atas (di puncak). Jumlah tersebut mewakili jumlah hari dalam satu tahun (365 hari), dan satu hari penambahan di setiap empat tahun sekali (tahun kabisat).
"Itu (Candi Borobudur) adalah kalender raksasa," kata Endang yang juga anggota Tim Akademis dalam IOAA 2015 itu.
Selain itu, ia menuturkan, dari stupa paling atas bisa dilihat bintang Polaris. Bintang polaris adalah bintang yang tidak pernah tenggelam sehingga digunakan sebagai petunjuk arah. Namun karena kondisi langit dan udara sekarang sudah tidak jernih, bintang Polaris pun sudah sulit dilihat dari puncak Candi Borobudur.
Fakta-fakta hasil penelitian Candi Borobudur dari ilmu astronomi itu menjadikan IOAA 2015 sebagai ajang pemberian pengalaman belajar kepada calon intelektual dunia tentang puncak-puncak pencapaian kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang ditopang oleh kekuatan ilmu pengetahuan yang canggih dan kehalusan spiritual yang dalam yang tercermin dari kemegahan Candi Borobudur.