ICJR: Pasal Penghinaan Presiden Timbulkan Kontroversi

Rencana pemerintah untuk memasukkan lagi pasal-pasal penghinaan presiden ke dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai pengamat sebagai langkah yang tidak bijak.

Peneliti sekaligus Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, mengatakan bahwa dengan mempertahankan pasal-pasal penghinaan Presiden ke Revisi KUHP, pemerintah mengajarkan hal yang tidak baik pada masyarakat.

"Selama ini pemerintah bilang, kita hormati keputusan pengadilan. Pengadilan sudah memutuskan bahwa pasal-pasal penghinaan presiden tersebut bertentangan dengan konstitusi. Kalau pemerintah tetap ngotot berarti pemerintah sendiri yang mengajarkan untuk jangan patuh pada keputusan pengadilan," kata Anggara.

Keputusan pengadilan yang dimaksud adalah keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2006 yang membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden sehingga hilang dari KUHP.

Namun pada draf revisi RUU KUHP yang diserahkan ke DPR, pemerintah kembali memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden tersebut.

Secara teknis hukum, memasukkan lagi pasal-pasal tentang penghinaan presiden juga tak bisa dilakukan.

Mahkamah Konstitusi sudah secara detail menyebut bahwa ketentuan-ketentuan yang sebangun dengan pasal-pasal penghinaan presiden yang sudah mereka batalkan tak bisa masuk lagi ke KUHP di masa mendatang. "Secara spesifik mereka mem-point out itu," kata Anggara.
Publik dapat menyampaikan opini kepada Presiden Jokowi melalui media sosial.


Lindungi masyarakat
Dalam pernyataannya, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa penghidupan pasal ini justru untuk melindungi masyarakat yang mengkritik kepentingan umum.

"Untuk memproteksi masyarakat yang kritis, orang-orang yang kritis, masyarakat yang ingin melakukan pengawasan, untuk tidak dibawa ke pasal-pasal karet. Jangan dibalik-balik, kamu. Justru memproteksi, jadi yang mengkritisi, memberikan pengawasan, ingin memberikan koreksi, silakan," kata Jokowi.

Menjawab poin ini, menurut Anggara, secara praktik, pendekatan ini tidak realistis di lapangan.

Selain itu, Indonesia juga sudah menjadi negara pihak dalam Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik. Salah satu pasal aturan internasional tersebut menyatakan bahwa pemimpin dan pejabat negara tak boleh dikritik karena saat menghadapi kritik paling keras sekalipun, mereka masih punya media untuk menyampaikan klarifikasi.

"Kalau argumennya untuk melindungi kepentingan umum, secara praktik tidak pernah terjadi. Karena kalau melihat tren penggunaan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden atau pemerintah, 99% nggak akan lolos dari jeratan itu," ujar Anggara.

Pada Selasa (4/8), anggota tim komunikasi presiden Teten Masduki menyatakan pada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan bahwa pasal ini sudah diusulkan oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada wartawan juga mengatakan bahwa pasal yang akan dimasukkan lagi dalam revisi KUHP ini berbeda dengan yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. (BBC Indonesia)